Jogjakarta, radarnasional.net Bedah Buku, yang ditulis oleh Prof.Jawahir Tontowi,SH.,Ph.D. dengan judul masyarakat hukum adat dalam cengkeraman positivisme. Dicetak oktober 2018, diterbitkan oleh Centre for leadership and law development ( CLDS.FH.UII ) bertempat di Auditorium yayasan badan wakaf UII yogyakarta, sabtu 13 april 2019. Pemateri Prof.Dr.Achmad Sodiki, SH.Guru Besar Universitas Brawijaya. Dr.Ricardo Simarmata,SH. Dosen hukum Adat FH.UGM. dalam keterangan perss, seusai acara, Prof.Jawahir Tontowi,menjelaskan latar belakang diterbitkannya buku ini, bahwa pusat studi pembangunan hukum UII memiliki kepedulian terhadap masyarakat hukum adat, yang memiliki kontribusi besar bagi negeri ini, karena mereka rela menyerahkan seluruh wilayahnya untuk NKRI, juga menyerahkan warganya dan telah berhikmat untuk mempersatukan masyarakat nusantara menjadi satu Indonesia.
Guru Besar FH UII ini ,menegaskan bahwa selama ini hukum adat terabaikan atau termarjinalkan oleh pemerintah, penguasa dan pengusaha melalui penerbitan surat2 ijin pertambangan dan explorasi sumber daya alam kepada investor dalam dan luar negeri yang menguntungkan korporasi, tapi sangat merugikan masyatakat hukum adat, karena tidak ada jaminan konstitusi terhadap masyarakat adat, memang dalam UUD pasal 18b ayat 2 dan pasal 28i ayat 3, menjamin hal itu, tapi jaminan itu tidak cukup kuat, karena perlindungan konstitusional terhadap masyarakat hukum adat dalam norma hukum itu bersifat kondisional, masyarakat hukum adat akan dipandang sebagai subyek hukum , jika masih hidup, tidak bertentangan dengan NKRI, dan kalau ada proses perundang- undangannya, jadi bila 3 syarat tsb tidak dapat dipenuhi, maka secara otomatis sampai kapanpun masyarakat hukum adat tidak akan pernah menjadi subyek hukum, yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lain, dengan semangat itu, maka kita titipkan kepada presiden terpilih siapapun dia, untuk segera mensahkan RUU masyarakat hukum adat yang sudah ada di DPR RI, ini adalah sebagai balas budi dan balas jasa NKRI kepada masyarakat hukum adat.
Lebih lanjut pakar hukum adat, FH UII ini mensinyalir berdasarkan data Dirjend kependudukan Depdagri bahwa +/- 5 juta WNI tidak memperoleh eKTP, besar kemungkinan mereka tidak dapat
menggunakan hak konstitusi mereka pada pemilu 2019, juga masalah WNA yang memiliki KTP, memang warga negara asing dimungkinkan memiliki KTP, sesuai UU kependudukan pasal 23, Tahun 2013 , masalahnya adalah bila KTP diberikan kepada WNA maka akan terjadi kewarganegaraan ganda, mereka sudah memiliki paspor dan itu sudah cukup kata Prof.Jawahir, memang ada kekeliruan terjadi disana, karena hal ini bertentangan dengan UU kewarganegaraan pasal 1 ayat 3, bahwa Indonesia menganut asas kewarga negaraan tunggal. Problem- problem ini sudah saya sampaikan kepada pihak-pihak terkait dalam beberapa kesempatan agar segera diselesaikan untuk meminimalisasi timbulnya masalah-masalah,pugkasnya. ( ypt )
0 Komentar